UN sebenarnya hanya gejala dari penyakit kronis yang disebut schoolism. Ini seperti demam akibat malaria. Ini adalah penyakit yang muncul akibat menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Anak yang tidak bersekolah langsung dianggap kampungan dan tidak terdidik.
Orang
yang tidak punya gelar dianggap tidak kompeten. Para pejabat negara berlomba
memburu gelar dengan cara apa pun agar dianggap kompeten.
Saat
ini, kita melihat semakin banyak sekolah dan kampus dibangun, tetapi masyarakat
kita tidak lebih terdidik. Ketua Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK
baru-baru ini adalah doktor hukum. DPR dipenuhi orang dengan gelar akademik,
tetapi DPR adalah salah satu lembaga publik paling korup.
Salah
satu fitur paling mencolok dari peradaban yang dengan congkak kita sebut modern
ini adalah kerusakan lingkungan, konsumerisme, kehancuran rumah tangga, dan
sekolah!
Memang
sejak semula sekolah diciptakan sebagai pendukung pokok industri yang
berkembang selama 200 tahun terakhir ini dengan menyediakan tenaga terampil
untuk bekerja di pabrik-pabrik skala besar.
Sejarah
menunjukkan kemudian bahwa tugas pendidikan oleh keluarga di rumah diambil alih
sekolah dan tugas produktif berbasis rumah tangga berskala kecil diambil alih
pabrik.
Mulailah
kita saksikan kehancuran lembaga keluarga. Data menunjukkan bahwa saat ini
terjadi sekitar 35 perceraian per jam di Indonesia.
Tawuran
pelajar, penyalahgunaan narkotika, penggunaan kendaraan bermotor tanpa SIM,
angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, dan gizi buruk adalah bukti betapa
keluarga Indonesia saat ini dalam kondisi menghadapi tantangan besar, tetapi
dilupakan dalam banyak kebijakan publik.
Perilaku
pelajar di bawah umur yang menyebabkan kecelakaan maut baru-baru ini oleh Daoed
Joesoef disebut salah asuhan. Saya menyebutnya salah asuhan sekolah saat
keluarga tidak lagi kompeten mendidik anak-anak yang dilahirkan. Maka, sekolah
saat ini praktis beroperasi seperti panti asuhan yatim piatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar