Pages

Kamis, 27 Februari 2014

ADMIN


Sampai detik ini, tidak banyak orang yang mengamati tentang problema yang cukup serius dalam dunia pendidikan. Hal ini terkait dengan terbitnya buku “Kekerasan Simbolik di Sekolah” karya Nanang Martono, yang telah membuka mata kita, bahwa masih ada kekerasan yang dilakukan di sekolah, baik oleh oknum dari dalam maupun oknum dari luar sekolah. Jika mendengar kata kekerasan, otak akan langsung merekam bahwa itu adalah kekerasan secara fisik, seperti yang masih sering terjadi di Indonesia pada saat ini.
Sejak dahulu, kekerasan selalu menjadi jalan utama untuk menerapkan kedisi­plinan pada anak. Di pesantren, sekolah, bahkan di rumah, kekerasan seakan sudah dihalalkan. Sebagian hal itu memang dapat menimbulkan efek jera pada sang anak. Namun, pada sebagian yang lain kekerasan malah menjadi beban mental, gangguan psikis, ketakutan, bahkan trauma. Apalagi jika itu diterapkan pada anak yang masih dalam tahap awal pembelajaran.
Pada realitanya kek­erasan masih sering terjadi, khususnya dalam dunia pendidikan.  Di Indonesia misalnya, siswa SD Islam Sudirman, Cijantung, Jakar­ta Timur, mengalami tinda­kan kekerasan fisik dari gurunya. Mulutnya dilakban sampai luka-luka, karena sering ramai di dalam kelas (28 November 2006). Siswi SMP 282 Jakarta juga mendapatkan tindak kekerasan dari guru Bahasa Inggrisnya, ditampar karena tidak mengerjakan tugas yang diberikan (Ramadhan, 2008).
Melihat rentetan kejadian di atas, dapat diartikan bahwa konsep kekerasan yang dilakukan tidak lagi mengedepankan masalah kedisiplinan. Akan tetapi lebih pada tekanan psikis pribadinya, yang merasa tindakan yang dilakukan siswa tersebut telah menyinggung harga diri sang guru. Seharusnya  guru bisa bersikap lebih dewasa dalam hal ini. Kekerasan fisik seperti itu hanya akan menimbulkan dampak negatif.
Hal tersebut berbeda dengan kekerasan simbolik yang diungkap Nanang Martono, dalam bukunya yang bersumber dari sebuah ide sosiologi pendidikan, Pierre  Bourdieu. Dalam buku tersebut penulis menyimpulkan, bahwa kekerasan simbolik adalah kekerasan yang hanya bersifat simbol, tidak secara nyata, berjalan perlahan, akan tetapi implikasinya sangat mengena bagi psiko­logi anak didik atau murid. Seperti pembagian kelas yang membedakan antara kelas favorit dan kelas yang tidak favorit. Kelas favorit lebih diisi dengan siswa dari kalangan atas (kaya), dan yang tidak favorit diisi dengan siswa dari kalangan bawah (miskin).
Membedakan antara kelas atas dan kelas bawah, berarti secara perlahan telah melakukan penindasan kepada si miskin. Dari keterbatasan ekonomi, membuat siswa mandek sekolah. Akibatnya, otak yang seharusnya diasah dan didesain untuk masa depan malah mengalami stagnasi, bahkan kemunduran secara pola pikir. Anak yang seharusnya berprestasi terkalahkan oleh anak dari kalangan “penikmat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar