Ditambah lagi dengan munculnya BSE (Buku Sekolah Elektronik), yang terkhususkan untuk siswa SD. Kekerasan simbolik di sini terakses lebih banyak dalam buku Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar, merupakan mata pelajaran yang masih dalam tahap pengenalan huruf, menyusun kata dan pembentukan kalimat dari benda-benda yang ada di lingkungan sekitar sang anak.
Namun,
BSE Bahasa Indonesia yang menunjang proses pembelajaran, malah memuat bahasa
dari orang kalangan atas (kaya), yang kebanyakan tidak dikenal dan tidak
terdapatkan di lingkungan anak dari kalangan bawah (miskin). Seperti
penyebutan nama papa, mama, eyang. Penyebutan pekerjaan seperti dokter, pilot,
pramugari. Penyebutan tempat liburan, pantai, Taman Mini, Puncak, atau bahkan
penggambaran denah rumah yang menggambarkan bentuk garasi mobil, kulkas, mesin
cuci. Siswa SD yang tidak pernah mengenal kata-kata seperti itu sebelumnya,
imajinasinya akan terpaksa berputar, membayangkan apa-apa yang belum pernah ia
lihat.
Masa
kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter juga penanaman moral, respon dan
daya ingatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Imajinasinya
sangat luas berkait dengan apa yang diketahuinya. Adanya BSE tentu tetap ada
dampak positif dan negatifnya untuk sang anak. Jika ia tidak dikenalkan dengan
sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya, maka ia akan tetap tidak tahu,
atau akan tahu tapi dalam proses yang lama.
Akan
tetapi, jika sang anak tetap dipaksa untuk menerima apa yang sudah menjadi
ketentuan, maka bisa jadi ia malah menganggap bahwa apa yang ada di lingkungan
sekitarnya adalah buruk, tidak termasuk dalam kualitas pendidikan yang
diajarkan di sekolahnya.
Pertama,
keluargalah yang paling berperan penting dalam pembentukan karakter dan
pengetahuan pertama kali pada sang anak. Ke dua, guru yang harus bisa
mengarahkan imajinasi siswanya pada imajinasi yang dapat diterima dan sesuai
dengan kapasitasnya. Seberapa penting BSE itu terbit tidak akan berpengaruh
apapun pada siswa, jika tidak ada pengarahan dari sang guru. Hanya sedikit saja
dari siswa SD yang mau membaca sendiri buku sekolah yang diterimanya, di
sinilah peran guru sangat dibutuhkan.
Tidak
hanya seorang guru yang pintar dan bisa menguasai muridnya, akan tetapi lebih
dibutuhkan akan guru yang benar-benar mempunyai jiwa kecintaan pada pengabdian.
Mampu menyamaratakan hak dan kewajiban atas peserta didiknya. Waallahua’lam
bil assawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar