Pages

Kamis, 27 Februari 2014

WASPADA CALON UN


SELURUH siswa, baik SD, SMP maupun SMA saat ini dituntut untuk mempersiapkan diri dengan matang guna menghadapi UN yang sebentar lagi tiba. Bagi sebagian siswa UN merupakan momok menakutkan. Karena di sinilah nasib mereka ditentukan. Lulus dan tidaknya siswa sangat bergantung pada persiapan yang dilakukan.

Begitu pentingnya UN bagi masa depan siswa, tak jarang cara apa pun akan ditempuh mereka untuk bisa lulus. Salah satu cara ditempuh adalah membeli kunci jawaban ujian dari calo UN.

Harus diakui bahwa dalam setiap pelaksanaan ujian sering muncul oknum tidak bertanggung jawab yang mengaku bisa memberikan kunci jawaban soal ujian. Kehadiran oknum calo UN tersebut tentu sangat merugikan para siswa. Bukan hanya kerugian materi, keberadaan calo UN juga akan membuat siswa kurang percaya diri dalam menghadapi ujian.

Karena itu, bagi siswa dan orang tua diharapkan selalu waspada jika bertemu dengan oknum yang mengaku bisa memberikan kunci jawaban UN. Bisa dipastikan informasi yang mereka bawa adalah bohong. Karena kunci keberhasilan lulus ujian nasional bukan terletak pada calo, melainkan dari siswa.
Ditindak Tegas
Tidak bisa kita pungkiri bahwa keberadaan oknum calo sering membuat lengah siswa dan orang tua. Apalagi bagi mereka yang berpikiran pendek dan memiliki persiapan kurang maksimal dalam menghadapi ujian. Akhirnya jalan yang ditempuh adalah membeli kunci jawaban kepada calo UN yang tingkat kebenarannya sangat diragukan.

Untuk menghindari dampak negatif akan keberadaan calo UN, langkah terbaik yang bisa diambil adalah memberikan pengertian kepada orang tua ataupun siswa agar tidak mudah terpengaruh dan percaya kepada calo UN. Khusus kepada siswa pihak sekolah dan guru diharapkan mampu memberikan motivasi agar mereka percaya diri dalam menghadapi ujian.

Di samping itu, pemerintah harus bertindak tegas kepada para calo UN. Jika ditemukan dan terbukti menjadi calo, oknum tersebut harus diberi sanksi setimpal. Misalnya dihukum penjara. Hal itu dilakukan guna memberikan efek jera kepada pelaku serta oknum yang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.

TUJUAN PNDIDIKAN


Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat).

Setop Kecurangan UN


KURANG lebih dua bulan lagi Ke­menterian Pendidikan Nasional akan menyelenggarakan hajat besar. Yakni menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP-SMA. Meskipun kegiatan tersebut rutin dilaksanakan setiap tahun, akan tetapi dalam proses selalu menimbulkan kontroversi.

Polemik yang sering muncul dalam setiap kali pelaksanaan UN adalah adanya jual beli kunci jawaban. Banyak sekali spekulan yang menjual jawaban yang tidak benar, korbannya tentu orang tua dan siswa yang berpikiran pendek. Selain itu, praktik kerja sama dan menyontek juga masih sering dilakukan siswa supaya bisa lulus ujian. Semua itu menjadi catatan buruk bagi Kemendiknas dalam penyelenggarakan UN.

Hal itu juga sering diperparah dengan adanya intervensi dari pihak terkait, terutama sekolah yang menginginkan siswanya lulus 100% dengan cara membuka soal terlebih dahulu kemudian dikerjakan guru dan jawabannya disebarkan kepada anak didik.

Kecurangan semacam itu masih sering mewarnai pelaksanaan UN tiap tahun. Alasan yang digunakan karena malu jika ada anak didik sekolah yang bersangkutan tidak lulus.
Maraknya praktik mafia dalam UN sangat memprihatinkan. Seharusnya UN dilaksanakan dengan cara-cara yang fair dan elegan, bukan dengan cara-cara yang curang.
Apalagi kecurangan sangat bertentangan dengan ruh pendidikan yang mengajarkan pentingnya nilai kejujuran.

PRIVATIASI DAN SWASTANISASI SEKTOR PENDIDIKAN


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUN


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

PENYELESAIAN MASALAH


Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

PENYAKIT KRONIS


UN sebenarnya hanya gejala dari penyakit kronis yang disebut schoolism. Ini seperti demam akibat malaria. Ini adalah penyakit yang muncul akibat menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Anak yang tidak bersekolah langsung dianggap kampungan dan tidak terdidik.
Orang yang tidak punya gelar dianggap tidak kompeten. Para pejabat negara berlomba memburu gelar dengan cara apa pun agar dianggap kompeten.
Saat ini, kita melihat semakin banyak sekolah dan kampus dibangun, tetapi masyarakat kita tidak lebih terdidik. Ketua Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK baru-baru ini adalah doktor hukum. DPR dipenuhi orang dengan gelar akademik, tetapi DPR adalah salah satu lembaga publik paling korup.
Salah satu fitur paling mencolok dari peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini adalah kerusakan lingkungan, konsumerisme, kehancuran rumah tangga, dan sekolah!
Memang sejak semula sekolah diciptakan sebagai pendukung pokok industri yang berkembang selama 200 tahun terakhir ini dengan menyediakan tenaga terampil untuk bekerja di pabrik-pabrik skala besar.
Sejarah menunjukkan kemudian bahwa tugas pendidikan oleh keluarga di rumah diambil alih sekolah dan tugas produktif berbasis rumah tangga berskala kecil diambil alih pabrik.
Mulailah kita saksikan kehancuran lembaga keluarga. Data menunjukkan bahwa saat ini terjadi sekitar 35 perceraian per jam di Indonesia.
Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkotika, penggunaan kendaraan bermotor tanpa SIM, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, dan gizi buruk adalah bukti betapa keluarga Indonesia saat ini dalam kondisi menghadapi tantangan besar, tetapi dilupakan dalam banyak kebijakan publik.
Perilaku pelajar di bawah umur yang menyebabkan kecelakaan maut baru-baru ini oleh Daoed Joesoef disebut salah asuhan. Saya menyebutnya salah asuhan sekolah saat keluarga tidak lagi kompeten mendidik anak-anak yang dilahirkan. Maka, sekolah saat ini praktis beroperasi seperti panti asuhan yatim piatu.

PENDIDIKAN


Pendidikan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk karakteristik seseorang agar menjadi lebih baik. Melalui jalur pendidikan foormal, warga negara juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan buruk agar dapat dipergunakan nantinya. Tidak ada batasan umur, kasta. atau waktu bagi seseorang untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan menjadi hak asasi bagi semua manusia mulai dari lahir sampai akhirnya meninggal. Hak asasi tersebut tidak boleh diktentang karena merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain pendidikan formal, pendidikan juga dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Pendidikan ini disebut sebagai pendidikan Nonformal. Pendidikan ini sangat penting dibandingkan dengan pendidikan formal karena semua yang diterima dari pendidikan formal dapat diaplikasikan langsung ke kehidupan nyata. Selain itu pendidikan nonformal juga menjadi faktor terpenting untuk pembentukan jiwa dan sikap dari seseorang. Jika pendidikan di dalam keluarga sangat baik tentu akan membuat seseorang menjadi lebih semangat untuk menuntut pendidikan formal. Pendidikan formal dibagi menjadi 3 jenjang pendidikan, yakni jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, serta jenjang pendidikan perguruan tinggi.

PEMERINTAH DAN SOLUSI PERMASLAHAN PENDIDIKAN


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin, propinsi, maupun kota dan kabupaten

PELEMAHAN KELUARGA


Bersamaan dengan pelemahan lembaga keluarga, sekolah menjadi tempat untuk menyombongkan diri. Konsep diri anak tidak dibentuk di rumah, tetapi di sekolah atau di luar sekolah, seperti geng motor.
Banyak pelajar di Kamal, Madura, kebut-kebutan menjelang maghrib hampir setiap hari dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Ikatan alumni sekolah ”favorit” menjadi simbol kebanggaan kelompok masyarakat tertentu, sementara alumni sekolah pinggiran kehilangan kepercayaan dan harga diri.
Perkembangan zaman membuat gelombang internet datang merobohkan tembok- tembok sekolah. Hampir semua pertanyaan murid bisa dicari jawabnya di internet, bahkan jauh lebih kaya daripada jawaban yang diberikan oleh kebanyakan guru. Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah sudah tidak kita butuhkan lagi.
Sugata Mitra juga membuktikan bahwa anak-anak yang normal tidak membutuhkan sekolah untuk belajar. Dia menyebut self-organized learning environment (SOLE) dengan kurikulum yang lentur menyesuaikan kebutuhan, bakat, dan minat anak bisa mengganti sekolah dengan biaya jauh lebih murah, tetapi jauh lebih efektif untuk belajar.

MODIFIKASI SOAL


Langkah Kemendiknas dengan menambah jumlah paket soal yang semula dua paket menjadi lima paket patut diapresiasi.
Dengan lima paket soal yang berbeda, tentu akan mengurangi praktik jual beli jawaban UN serta meminimalikan peluang kerja sama dan aksi menyontek siswa ketika ujian berlangsung. Bukan hanya itu. Dengan modifikasi soal ujian, akan memperkecil intervensi dari berbagai pihak.

Yang terpenting saat ini harus ada sosialisasi kepada seluruh Dinas Pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta sekolah dengan adanya sistem baru yang akan diterapkan, terutama dalam hal paket soal.
Tujuannya agar siswa yang ikut UN juga mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi soal-soal yang berbeda antara siswa satu dengan yang lain.
Meskipun ada pro dan kontra dalam sistem baru UN, itu adalah wajar. Jika sistem ini berhasil dan bisa menekan kecurangan dalam pelaksanaan UN, tentu akan lebih baik, dengan harapan kualitas pendidikan semakin meningkat.

LSM


Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi

KURIKULUM




Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh


KONTROVERSI DI SELENGGARAKAN UN


Kedua, aspek yuridis. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

KERUSAKAN FASILITAS


sekolah Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak mencapai 50 persen. Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.